Persoalan Parit Sanga-sanga Dalam, Rahmat Dermawan Usulkan dan Kawal Realisasi


KAWAL LANGSUNG: Anggota DPRD kabupaten Kukar Rahmat Dermawan saat meninjau langsung keresahan warga (Ist).


Kutai Kartanegara, Prediksi.co.id- Hari itu belum benar-benar sore. Tapi matahari sudah seperti punya niat lain: membakar. Rahmat Dermawan tetap melangkah. Ia baru saja menyelesaikan acara penyerahan bantuan—suatu hal yang biasanya membuat politisi buru-buru pulang ke kantor ber-AC. Tapi tidak hari itu. Ia malah berbelok ke RT 24, Sanga-Sanga Dalam. Ada yang menunggunya. Bukan protokol. Tapi warga. Ada juga yang lebih lama menunggu: parit yang nyaris tak berfungsi.


Muhammad Jaynuri, Ketua RT setempat, berdiri di pinggir parit. Wajahnya serius. Tangannya menunjuk ke aliran air yang setengah mati mengalir. “Itu, Pak. Sudah penuh sedimentasi. Tiap hujan deras, airnya naik ke jalan, sampai ke RT 01 juga.”

Rahmat mendekat. Tak banyak bicara. Lebih banyak mendengar. Parit itu, katanya Jaynuri, satu-satunya jalur aliran dari RT 24 ke pusat kelurahan. Tapi sekarang parit itu seperti orang tua yang kelelahan—tua, sempit, dan kehilangan daya tampung.


Tambang jadi biangnya. Sisa pasir dan lumpur dari aktivitas tambang pelan-pelan mengisi dasar parit, seperti dendam yang dipendam terlalu lama. Dan ketika hujan datang, parit membalasnya dengan meluap.

Rahmat turun ke lokasi. Sepatu terkena lumpur. Di pinggir parit yang longsor, ia berdiri diam. Melihat. Mengangguk kecil.

Lalu ia berkata, pelan tapi terdengar tegas, “Kita mulai dulu 10 meter. Kalau langsung panjang takut nggak jalan. Tapi ini harus mulai.”


Bagi warga, 10 meter itu seperti setitik janji yang mereka harap bisa jadi arus perubahan. Sebab banjir bukan hanya genangan air, tapi genangan kekhawatiran. Anak-anak tak bisa sekolah tepat waktu. Ibu-ibu harus melipat celana saat belanja. Dan motor? Lebih sering mogok karena knalpot kemasukan air.

Rahmat berjanji akan mengawal. Bukan hanya mengusulkan. Tapi benar-benar mengawal. “Saya nggak mau masalah ini berlarut-larut,” katanya. Kata-kata itu bukan retorika di podium. Karena podium pun tak ada hari itu. Yang ada hanya parit penuh lumpur, warga dengan wajah berharap, dan seorang wakil rakyat yang tidak takut kepanasan.


Di tengah longsoran parit itu, Rahmat melihat bukan hanya kerusakan, tapi juga peluang. Bahwa pembangunan bukan soal proyek besar dengan plang megah. Tapi tentang 10 meter yang bisa mencegah genangan dan membuat warga bisa hidup lebih tenang.

Dan mungkin, kalau langit berkenan, warga tak perlu lagi bertanya-tanya: kapan parit ini benar-benar diperhatikan? Sebab hari itu, seseorang sudah datang, melihat, dan berjanji tak akan membiarkan janji itu mengering sebelum parit itu mengalir kembali. (Adl/Le).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama