Kutai Kartanegara, Prediksi.co.id- Minggu itu bukan minggu biasa di Jalan Dokter Wahidin. Di satu sisi, tanah tak lagi tenang. Di sisi lain, dua wakil rakyat memutuskan tidak tenang di kantor. Rahmat Dermawan dan Masniyah—dua nama yang mungkin lebih sering muncul di spanduk—kali ini muncul di medan nyata. Bukan untuk seremoni. Tapi untuk longsor.
Ya, longsor. Yang diam-diam masuk ke rumah warga. Bukan lewat pintu. Tapi dari belakang. Membawa serta tanah, lumpur, dan rasa cemas yang mengendap dalam dada Aam, warga yang terdampak.“ Saya bikin parit sendiri,” kata Aam, dengan suara pelan. Ia seperti tidak ingin menyalahkan siapa-siapa. Tapi dari nada bicaranya, tersirat satu hal: lelah.
Parit buatan tangan sendiri itu bukan solusi. Tapi penunda bencana. Sebab di atasnya, masih ada tebing yang rapuh. Dan di sampingnya, ada tiga rumah yang kini seperti hidup di ujung tanduk. Rahmat dan Masniyah datang. Menyusuri jalan terjal yang bahkan tidak cocok disebut jalan. Di bawah panas yang membuat jaket jadi beban. Tapi mereka terus berjalan. Bukan untuk pencitraan. Karena kamera pun minim.
Lurah Sri Wahyuni Ermawati ikut mendampingi. Ia tahu ini bukan hanya masalah kelurahan. Tapi soal bagaimana warga bisa tidur tanpa mimpi buruk berupa suara tanah yang bergerak.
“Kami buat usulan ke kecamatan. Tapi sambil itu berjalan, kami mulai dulu penanganan awal,” katanya. Suaranya terdengar seperti ibu rumah tangga yang sedang mengatur dapur saat anggaran dapur belum turun.
Rahmat pun bicara. Ia bukan tipe yang banyak gaya. Tapi saat berkata, kalimatnya padat. “Kami akan koordinasikan segera. Penanganan tahap awal harus dimulai cepat. Dan setelah itu, kami usulkan pembangunan turap permanen.” Turap permanen. Dua kata yang sederhana, tapi bisa mengubah hidup warga. Dari waswas jadi tenang. Dari ancaman jadi perlindungan.
Di tempat itu, di bawah matahari yang masih menolak redup, dua legislator berdiri di antara tanah longsor dan harapan warga. Mereka tidak membawa alat berat. Tapi membawa janji. Dan bagi warga seperti Aam, kadang janji yang benar-benar dikawal lebih berat nilainya daripada seribu ekskavator yang tak kunjung datang. Mungkin di tempat lain, politisi hanya datang saat musim kampanye. Tapi hari itu, di Sanga-Sanga Dalam, dua wakil rakyat datang saat tanah bergeser dan rumah terancam roboh. Dan dari situ, satu hal jadi jelas: tak semua longsor membuat harapan ikut runtuh. (Adl/Le)
Posting Komentar