Kutai Kartanegara, Prediksi.co.id- Hari itu Minggu. Matahari sedang tidak ingin kompromi. Panasnya tajam, menyengat. Tapi itu tidak cukup untuk membubarkan ratusan warga yang memadati Balai Pertemuan DKM di RT 24, Kelurahan Sanga-Sanga Dalam.
Yang ditunggu datang. Bukan pejabat dengan jas gelap dan protokol panjang. Tapi Rahmat Dermawan, anggota DPRD Kutai Kartanegara dari Dapil 4. Datang dengan kaos coklat lengan pendek, rompi hitam, dan topi sederhana yang lebih cocok dipakai petani daripada politisi. Ia menyapa, menyalami, menunduk rendah, dan tertawa kecil — lebih mirip kawan lama pulang kampung daripada pejabat daerah.
Satu per satu bantuan diserahkan. Ada yang senyum malu-malu, ada yang tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Sidik, tukang kayu 42 tahun, memeluk erat alat pertukangan barunya. “Bahagia sekali,” katanya pelan. Ia seperti sedang berbicara pada masa depannya sendiri. Yang ia lihat bukan hanya obeng atau palu, tapi tambahan penghasilan, harapan, mungkin juga pendidikan yang lebih baik untuk anaknya.
Di sisi lain, Rohana, ibu majelis taklim, memandangi sound system yang baru ia terima seperti menatap benda langit. “Kegiatan kami bisa lebih lancar sekarang,” ujarnya pendek, tapi dengan suara yang penuh makna.
Bantuan datang beragam. Ada perlengkapan shalawatan, alat bengkel, tandon air, bahkan perlengkapan gereja. Satu hal yang menarik: tidak semua yang hadir beragama sama, profesinya pun berbeda-beda. Tapi Rahmat membaginya rata. Seolah ia sedang menyusun mozaik warga — setiap potongan berbeda tapi punya tempat yang sama penting.
“Saya datang untuk menepati janji,” kata Rahmat, dengan diiringi lemparan senyum merekah masyarakat. Kalimat itu sederhana. Tapi di politik — janji yang ditepati adalah barang mewah. Terutama jika janji itu bukan untuk menyenangkan kamera, melainkan untuk menjawab kebutuhan nyata.
Sebelum acara, ia juga meninjau titik longsor di RT 24. Bukan sekadar lihat-lihat. Ia periksa parit, catat sedimentasi, bicara langsung dengan warga. “Ini harus cepat diatasi,” ujarnya. Tak ada ajudan yang menyela, tak ada konferensi pers. Hanya satu orang dan satu komitmen.
Acara selesai. Matahari belum turun. Tapi warga tak pergi cepat. Mereka berfoto, menyalami, bahkan ada yang menitipkan harapan. Rahmat tetap berdiri, mendengarkan. Dalam politik yang sering dingin dan berjarak, Rahmat memilih jalan sebaliknya: panas-panasan bersama rakyatnya. Dan hari itu, di bawah langit terik Sanga-Sanga Dalam, janji itu tak sekadar tinggal janji. Ia datang. Dengan tangan terbuka, dan rompi hitam yang menyimpan banyak cerita. (Adl/Le).
Posting Komentar