Teks foto : Anggota DPRD Kaltim, Baharuddin Demmu (istimewa).
SAMARINDA - Proyek pembangunan Bendungan Marangkayu yang nyaris rampung mendapat sorotan tajam dari DPRD Kalimantan Timur. Bukan karena progres konstruksi, melainkan karena lemahnya komunikasi dan transparansi pemerintah terhadap masyarakat yang terdampak langsung.
Anggota DPRD Kaltim dari Fraksi PAN-NasDem, Baharuddin Demmu, menilai pemerintah terkesan menutup ruang dialog dengan warga Desa Sebuntal dan sekitarnya, yang sejak awal menjadi wilayah terdampak proyek. “Masalah utamanya bukan sekadar ganti rugi, tapi bagaimana negara hadir dalam proses yang manusiawi dan terbuka,” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPRD, Senin (2/6/2025).
Menurut Baharuddin, sebagian besar warga terdampak bahkan tidak pernah dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengambilan keputusan proyek. Akibatnya, muncul resistensi sosial yang terus membesar. Dalam beberapa bulan terakhir, warga melancarkan aksi protes, termasuk penutupan jalan menuju lokasi bendungan.
“Kalau sejak awal ada keterbukaan dan komunikasi yang sehat, saya yakin polemik ini tidak akan berlarut-larut. Tapi sekarang warga sudah lelah menunggu, sebagian bahkan meninggal dunia tanpa pernah tahu nasib tanah mereka,” jelasnya.
Bendungan Marangkayu sendiri mulai dibangun hampir dua dekade lalu dan kini memasuki tahap akhir pengerjaan. Namun ironisnya, puluhan keluarga yang lahannya masuk dalam kawasan proyek belum mendapatkan kejelasan soal kompensasi.
Bahaya yang lebih nyata, kata Baharuddin, kini mulai dirasakan warga. Beberapa rumah terdampak banjir akibat perubahan aliran air imbas pembangunan bendungan. Kondisi ini semakin memperburuk ketegangan antara masyarakat dan pihak pelaksana proyek.
Camat Marangkayu bersama Kepala Desa Sebuntal sudah mengajukan surat permohonan audiensi ke DPRD sejak 23 Mei lalu, namun belum ditindaklanjuti secara resmi oleh instansi terkait. Baharuddin mendesak agar Rapat Dengar Pendapat segera digelar dengan menghadirkan seluruh pihak—baik pemerintah provinsi, kontraktor, maupun perwakilan masyarakat.
“Kalau proyek ini dianggap strategis nasional, seharusnya cara penanganannya juga strategis. Jangan abaikan warga yang hidup bertahun-tahun dalam ketidakpastian,” tegasnya.
Kasus Marangkayu menurutnya menjadi peringatan penting: proyek sebesar apa pun akan kehilangan legitimasi jika dilakukan tanpa mendengar suara mereka yang terdampak. “Infrastruktur bukan hanya urusan fisik, tapi juga soal keadilan sosial,” tutup Baharuddin. (Adv/rk/le).
Posting Komentar