Jakarta, Prediksi.co.id– Di balik sorotan tajam terhadap kasus korupsi impor gula, satu nama kembali mengemuka: Thomas Trikasih Lembong, mantan Menteri Perdagangan era Presiden Joko Widodo periode 2015–2016. Vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta yang dijatuhkan majelis hakim pada Jumat (18/7) tak hanya mengguncang ruang sidang Tipikor Jakarta Pusat, tetapi juga menyisakan perdebatan panjang tentang batas antara pelanggaran aturan dan niat jahat dalam tata kelola negara.
Dalam pembacaan vonis, hakim menyatakan bahwa Tom – begitu ia akrab disapa – tidak menikmati keuntungan pribadi dari kasus impor gula yang menimbulkan kerugian negara hingga Rp194 miliar. Ia tidak dikenai hukuman pengganti kerugian negara karena dinilai tidak memperoleh hasil dari tindakan korupsi tersebut. Bahkan, iPad dan Macbook yang sempat disita dari dirinya diperintahkan untuk dikembalikan.
Namun, meski bebas dari tuduhan memperkaya diri, majelis tetap menyatakan Tom bersalah melanggar Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor, jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Hakim menilai Tom lalai dalam menjalankan tugasnya sebagai pejabat publik, khususnya saat mengeluarkan izin impor gula kepada delapan perusahaan swasta, yang berujung pada lonjakan harga dan kerugian negara.
"Tidak Ada Niat Jahat, Tapi Saya Dihukum"
Menanggapi putusan itu, Tom Lembong menunjukkan wajah tenang, namun sarat perasaan campur aduk. Dalam pernyataannya usai sidang, ia mengaku heran: “Majelis menyatakan tidak ada niat jahat saya. Tidak ada yang namanya mens rea... Tapi saya tetap dijatuhi vonis.”
Dari kacamata Tom, yang selama ini dikenal sebagai ekonom profesional dan eks bos Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), kasus ini justru menunjukkan adanya ambiguitas dalam penerapan hukum. “Saya melihat, majelis mengesampingkan wewenang saya sebagai Menteri Perdagangan. Padahal undang-undang secara jelas memberi saya mandat untuk mengatur perdagangan bahan pokok,” tegasnya.
Tom menilai dirinya hanya menjalankan tugas dalam kerangka tanggung jawab jabatan. Ia menekankan bahwa kebijakan impor gula kala itu dibuat untuk menjaga pasokan dan stabilitas harga.
Majelis hakim menyebut, dalam pertimbangan yang memberatkan, bahwa Tom Lembong terkesan lebih mengedepankan pendekatan ekonomi kapitalis ketimbang nilai-nilai ekonomi Pancasila. Ia dinilai tidak menjalankan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam proses penerbitan izin impor, serta tidak mengutamakan kepentingan masyarakat sebagai konsumen akhir.
“Sebagai pemegang kendali, seharusnya ia memastikan kebijakan impor gula dijalankan dengan prinsip kehati-hatian, karena menyangkut harga kebutuhan pokok rakyat,” ujar hakim anggota Alfis Setyawan dalam amar putusan.
Fakta-fakta itu menyudutkan posisi Tom yang sebelumnya dikenal publik sebagai pejabat bersih dan teknokrat profesional. Vonis ini menjadi semacam ironi – di saat banyak koruptor jelas-jelas memperkaya diri tapi bebas atau mendapat potongan hukuman, seorang mantan menteri yang tak terbukti menikmati hasil korupsi justru harus mendekam 4,5 tahun.
Vonis terhadap Tom Lembong menyimpan narasi yang lebih besar: tentang pertarungan paradigma dalam mengelola negara. Antara teknokrasi yang mengutamakan efisiensi dan hasil, versus prinsip kehati-hatian dan keadilan sosial ala Pancasila. Antara kesalahan administratif dan niat jahat. Antara profesionalisme dan sistem hukum yang belum sepenuhnya akuntabel.
Kini, Tom harus menjalani masa hukumannya, sambil berharap narasi di balik vonisnya bisa menjadi refleksi sistemik bagi pengelolaan tata niaga dan keadilan hukum di negeri ini. (Di/Le).
Posting Komentar