Bupati Kukar dan Gerakan 10 Juta Bendera Merah Putih


Kukar- Pagi itu, Lapangan Upacara Kantor Bupati Kutai Kartanegara penuh warna. Bukan warna tambang yang pekat, bukan juga warna hutan yang hijau. Tapi merah dan putih. Ribuan bendera kecil dan besar berkibar, dipasang di tiang, dipegang di tangan, bahkan ada yang menempel di motor.


Bupati Kukar Aulia Rahman Basri datang dengan pakaian sederhana: merah-putih juga. Tidak ada gaya pejabat yang kaku. Ia berjalan ke tengah lapangan, bersama Sultan Kutai Kartanegara Ing Martadipura XXI, Forkopimda, dan para tokoh masyarakat. Lalu—tiba-tiba—ratusan balon merah-putih dilepas ke udara. 


Semua mata menengadah, mengikuti balon itu sampai lenyap di langit Tenggarong. Bukan hanya simbol. Itu seperti doa, agar kemerdekaan bukan sekadar perayaan tahunan, melainkan terus terbang tinggi, meski arah angin kadang tak menentu.


Dari lapangan itu, rombongan motor berderet. Ada Bupati, ada Sultan, ada aparat, ada warga biasa. Mereka konvoi. Bukan untuk pamer. Mereka singgah ke banyak tempat: ke kediaman seorang janda veteran, ke pasar, ke sekolah luar biasa, bahkan ke sekolah dasar.


Apa yang mereka bawa? Bendera merah putih. Yang mereka berikan? Bukan sekadar selembar kain. Tapi pesan. Pesan agar setiap rumah, setiap kantor, setiap toko, bahkan sekolah kecil di pelosok, tidak lupa mengibarkan bendera.


Aulia—yang baru memimpin Kukar—berbicara sederhana. Ia tidak mengutip jargon. Tidak membaca teks panjang. Ia hanya bilang: “Ini untuk mengingatkan kembali jiwa perjuangan. Yang sudah dilakukan para pahlawan Kusuma Bangsa kita.”


Saya terdiam sejenak ketika mendengar kalimat itu. Sederhana sekali. Tapi justru karena sederhana, terasa dalam.


Gerakan pembagian 10 juta bendera ini memang nasional. Tapi di Kukar, rasanya lebih hidup. Karena Kukar punya sejarah panjang. Dari kerajaan Kutai yang tua, sampai tambang dan migas yang jadi nadi ekonomi. Dari sungai Mahakam yang tenang, sampai perjuangan orang kampung yang berjualan di pasar. Semua lapisan itu disatukan oleh bendera.


Dan pagi itu, anak-anak SD di Tenggarong mengangkat bendera kecilnya dengan wajah berseri-seri. Mereka mungkin belum mengerti sepenuhnya arti kemerdekaan. Tapi mereka tahu: bendera itu bukan sekadar kain. Itu kebanggaan.


Seperti masa kecil. Dulu, menjelang 17 Agustus, tugas utama anak-anak kampung adalah mencari bambu untuk tiang bendera. Panjangnya harus cukup. Ujungnya dipotong runcing. Lalu bendera kecil yang dibagikan sekolah kami ikat di sana.


Tidak ada yang merasa disuruh. Semua menganggap itu bagian dari kegembiraan. Hari ini, tradisi itu seperti dihidupkan kembali. Bedanya, sekarang benderanya lebih banyak, lebih terorganisir. Bahkan sampai 10 juta.


“Untuk anak muda Kukar, jangan berhenti berkarya. Jangan berhenti berbuat terbaik untuk daerah kita,” pesan Bupati Aulia menutup acara. Kalimat itu bukan sekadar himbauan. Itu tantangan.


Karena di tangan generasi muda, bendera itu akan terus berkibar. Bukan hanya di tiang-tiang rumah. Tapi juga di semangat bekerja, di karya seni, di ladang pertanian, di ruang kelas, bahkan di tambang dan pabrik.


Dan kita harus percaya, ketika merah-putih dikibarkan di halaman rumah paling kecil sekalipun, di situlah Indonesia terasa nyata.


Bukan di podium megah, bukan di gedung tinggi. Tapi di halaman rumah, di sekolah dasar, di pasar, di gang sempit, di kampung hulu Mahakam. Karena bendera itu—sekecil apa pun—selalu punya cerita. Selalu punya jiwa. (Adv/Di/Le).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama