Jakarta, Prediksi.co.id- Jakarta tidak pernah benar-benar tidur, tapi malam itu—19 September 2025—Carnaval Ancol berubah jadi ruang raksasa yang berdenyut. Lampu-lampu panggung berwarna saling berkejaran, menorehkan cahaya ke wajah ribuan penonton yang sudah menanti. Dari kejauhan, kilau lampu seperti semburan listrik yang menari di langit pesisir menyeruak.
Lalu, seketika gelap. Hening sekejap yang hanya berlangsung tiga detik itu terasa panjang. Jantung ribuan orang seakan menahan napas bersamaan. Dan tiba-tiba gebukan drum Dominic Howard meledak, keras. Distorsi gitar Matt Bellamy masuk seperti gergaji listrik, menyayat senyap. Bass Chris Wolstenholme menyalak, dalam, berat, seperti gelombang laut menabrak dermaga.
Suara-suara itu bukan sekadar terdengar. membuat dada penonton ikut bergetar, memaksa setiap orang bergerak. Fisik pun menyerah: kaki menghentak, tangan terangkat, kepala mengangguk liar mengikuti tempo.
Di layar besar di belakang panggung, wajah Bellamy sesekali terlihat, disinari sorot lampu putih. Matanya tajam, mulutnya menempel pada mikrofon, lalu keluar suara yang jernih sekaligus penuh tenaga. Ribuan orang langsung menjerit, bukan karena kaget, tapi karena tak kuasa menahan euforia.
Saat intro “Hysteria” dimainkan, arena pecah. Jeritan gitar khas itu terdengar lagi setelah 18 tahun itu. Penonton menjawab dengan teriakan panjang, bergemuruh. Mereka bernyanyi bersama, suaranya bercampur jadi satu, sampai-sampai kadang menenggelamkan vokal Bellamy sendiri.
Lagu demi lagu mengalir tanpa banyak jeda. “Stockholm Syndrome”, “Madness”, hingga “Supermassive Black Hole.” Setiap dentuman drum adalah menghujam yang mengetuk adrenalin. Setiap tarikan gitar adalah percikan api yang menyulut jeritan baru.
Hanya dua kali Bellamy membuka mulut untuk bicara: “terima kasih” dan “selamat malam.” Sisanya ia biarkan musik yang berbicara. Namun justru itu yang membuat konser terasa padat, tanpa ruang untuk bernapas. Hingga akhirnya, Dominic Howard menatap kerumunan, lalu berkata dengan suara berat tapi tulus:“Terima kasih Indonesia. Sudah lama sekali sejak terakhir kami ke sini. Kalian bernyanyi sangat bagus.”
Sorak panjang menyambutnya. Suara itu seperti gelombang, bergulung, lalu pecah, kembali lagi, dan pecah lagi.
Penutupnya adalah “Starlight.” Dari baris pertama, ribuan ponsel menyala. Titik-titik cahaya putih bergerak, berkelip, seperti bintang buatan di bawah langit Jakarta yang malam itu justru tampak mendung. Lagu melayang, vokal Bellamy terdengar lembut, membuai, seolah membasuh letih.
Ketika semua usai, hanya ada sisa asap tipis, suara serak ribuan orang, dan telinga yang masih berdenging. Tapi di hati, konser itu masih bergema: keras, megah, sekaligus hangat. Muse tidak hanya datang memberi hiburan. Mereka meninggalkan jejak suara—sebuah kenangan auditori dan visual—yang akan terus berputar di kepala siapa pun yang ada di Ancol malam itu. (Di/Le).
Posting Komentar