(Prediksi.co.id/Aditya Lesmana)
Samarinda ternyata punya cara baru mencintai dirinya sendiri. Bukan lewat slogan, bukan lewat baliho, tapi lewat buku.
Ada 22 anak muda yang memilih menulis tentang kota mereka — bukan dengan kacamata turis, melainkan dengan mata seorang anak yang pulang ke rumahnya sendiri. Judul bukunya panjang, seperti napas sejarahnya: “Samarinda dalam Tiga Masa: Merapah Kenangan Masa Lalu, Wajah Hari Ini, dan Bayangan Esok.”
Mereka bukan penulis terkenal. Tapi mereka tahu, kota ini tidak hanya hidup dari bangunan dan jalan, melainkan dari cerita. Dan cerita—kalau tidak ditulis—akan hilang begitu saja, seperti jejak di pasir Sungai Mahakam.
Saya suka kalimat yang diucapkan Sultan Musa, salah satu mentor mereka. Ia bilang, “Sebuah kota tak hanya terdiri dari jalanan, gedung-gedung, dan sungai yang membelahnya. Ia juga dibentuk oleh kenangan, harapan, dan kisah-kisah.”
Itu kalimat yang bisa membuat siapa pun berhenti sejenak, menatap langit Samarinda yang sering redup sore hari, lalu bertanya: apa yang sebenarnya kita simpan dari kota ini?
Buku setebal 156 halaman itu akan diluncurkan 17 November nanti. Disusun bersama, disunting oleh Sultan Musa dan Novan Leany, diterbitkan oleh Penerbit Satu Spasi dari Yogyakarta.
Tapi nilai sebenarnya bukan pada acara peluncurannya. Nilainya ada pada semangatnya — pada keberanian 22 anak muda yang ingin merekam Samarinda sebelum terlambat.
Karena kota yang tak pernah ditulis, perlahan akan lupa pada dirinya sendiri.D an mungkin, buku inilah cara mereka menolak lupa. (Adl/Le).
Posting Komentar