Tantangan Berlapis Warnai Upaya Pemerintah Kutim Mewujudkan Sawah Baru

 


 

Sangatta, Prediksi.co.id-Pemerintah Kabupaten Kutai Timur (Kutim) melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Peternakan (DTPHP) tengah berupaya intensif mengidentifikasi dan menyiapkan lahan untuk program cetak sawah baru. Namun, upaya tersebut menghadapi sejumlah tantangan kompleks, mulai dari tumpang-tindih peruntukan lahan hingga penolakan dari pemilik lahan sendiri.

 

Kepala DTPHP Kutai Timur, Dyah Ratnamingrum, secara terbuka mengakui kendala yang dihadapi di lapangan. Ia menjelaskan bahwa dinamika alokasi lahan di Kutim menjadi faktor penghambat utama.

 

“Kita lagi mengupayakan mencari lahan-lahan yang bisa dilakukan untuk cetak sawah. Kita kan tahu lahan di Kutai Timur ini kesana tambang, yang kesana ada TNK, ada kawasan, Ada lagi tanah adat dan sebagainya. Ini menjadi permasalahan dan kemudian belum lagi pelaku usahanya, petani kita ada memiliki lahan yang bisa kita cetak, ternyata tiba-tiba petaninya tidak mengizinkan itu dicetak sawahnya karena dia tidak mau. Itu juga menjadi masalah yang perlu kita pecah kan,” tutur Dyah Ratnamingrum, menguraikan situasi yang dihadapi oleh jajaran dinasnya.

 

Uraian Kadis DTPHP tersebut menyoroti setidaknya dua tantangan besar. Pertama, adalah persoalan kompetisi ruang. Keberadaan aktivitas pertambangan, kawasan Taman Nasional Kutai (TNK), serta wilayah adat membatasi pilihan lokasi yang secara hukum dan teknis memungkinkan untuk dikonversi menjadi sawah. Hal ini menyulitkan pemerintah dalam menemukan hamparan lahan yang cukup luas dan bebas dari konflik kepentingan.

 

Kedua, dan ini merupakan persoalan yang lebih halus, adalah faktor sosial dan kehendak bebas petani. Program cetak sawah, yang secara konsep ditujukan untuk meningkatkan produksi pangan dan kesejahteraan petani, ternyata tidak selalu sejalan dengan keinginan pemilik lahan. Pernyataan Dyah mengungkapkan realitas di mana petani sebagai subjek utama justru dapat menjadi penghalang ketika mereka memiliki pertimbangan lain atas pengelolaan lahannya.

 

“Tiba-tiba petaninya tidak mengizinkan itu dicetak sawahnya karena dia tidak mau,” jelas Dyah, menegaskan bahwa keengganan petani adalah sebuah variabel yang signifikan dan harus dicarikan solusinya.

 

Adanya penolakan dari petani ini mengindikasikan perlunya pendekatan yang lebih komprehensif, tidak hanya dari aspek teknis pertanian, tetapi juga komunikasi, sosialisasi, dan pendekatan partisipatif. Pemerintah dituntut untuk memahami akar penolakan, apakah terkait dengan pola budidaya, ketidakpastian ekonomi, atau alasan-alasan kultural lainnya.

 

Dengan demikian, upaya pencetakan sawah baru di Kutim tidak lagi sekadar persoalan membuka dan mengolah lahan, melainkan sebuah proses negosiasi yang rumit dengan berbagai pemangku kepentingan dan menghormati hak-hak agrarian masyarakat setempat. Keberhasilan program ini kedepannya sangat bergantung pada kemampuan pemerintah dalam merespons dan mengintegrasikan berbagai kompleksitas tersebut ke dalam strategi pembangunan pertanian yang lebih inklusif dan berkelanjutan. (Adv/Za//Le).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama