Oleh: Pandhu Samudra
Founder Rumah Harapan Rakyat Kalimantan Timur
Sungai Mahakam adalah tulang punggung kehidupan ekonomi dan sosial di Kalimantan Timur. Ribuan kapal melintas setiap harinya, membawa barang, pekerja, hingga kebutuhan vital yang menggerakkan perekonomian daerah. Namun di balik denyut aktivitas tersebut, ada masalah serius yang semakin mengkhawatirkan: maraknya praktik premanisme dan pemalakan yang menyasar kapal-kapal yang melintas.
Praktik ini bukan lagi isu baru. Banyak pelaut, operator kapal, hingga pekerja lapangan mengaku menjadi korban pemerasan, intimidasi, bahkan ancaman fisik dari oknum-oknum yang memanfaatkan lemahnya pengawasan di perairan Mahakam. Ironisnya, fenomena yang seharusnya menjadi perhatian utama aparat penegak hukum justru seolah dibiarkan berlarut-larut.
Ini Bukan Soal Siapa Kuat—Ini Soal Perut Kosong
Seruan kami dari Rumah Harapan Rakyat Kalimantan Timur sederhana namun sangat mendesak: tindak tegas praktik premanisme di Jalur Sungai Mahakam.
Ini bukan soal siapa yang merasa lebih kuat di lapangan. Ini soal masyarakat kecil—para pelaut, buruh angkut, operator kapal—yang menggantungkan hidupnya di sungai. Setiap rupiah yang mereka hasilkan digunakan untuk menyambung hidup keluarga mereka. Ketika mereka masih harus menghadapi pemalakan dan ancaman saat bekerja, maka yang dipertaruhkan bukan hanya keamanan, tetapi dapur mereka, masa depan mereka, dan martabat mereka sebagai warga negara.
Jika tidak ada tindakan nyata dari aparat, mau dibawa ke mana wajah penegakan hukum di Kalimantan Timur? Bagaimana masyarakat bisa percaya pada proses hukum jika premanisme yang begitu kasat mata saja tidak kunjung mendapat penindakan tegas? Terlebih di wilayah hukum Polresta Samarinda, yang seharusnya memiliki kapasitas kuat untuk mengamankan jalur vital ini.
Alasan Klasik yang Tidak Lagi Layak Dipertahankan, sering kali, masyarakat mendengar alasan dari aparat penegak hukum: tidak adanya laporan resmi dari korban, tidak ada barang bukti yang bisa dijadikan dasar penindakan, atau korban dianggap enggan melapor.
Namun perlu kita pahami, korban premanisme jarang berani melapor. Mereka takut dibalas, takut diincar lagi, dan takut kehilangan pekerjaan. Dalam banyak kasus, pelaut dan operator kapal berada dalam posisi yang sangat rentan. Menuntut mereka melapor tanpa memberikan perlindungan adalah bentuk pembiaran yang terselubung.
Premanisme adalah kejahatan jalanan. Ia nyata, terlihat, dan sering kali dilakukan di ruang terbuka. Jika aparat hanya bergerak setelah mendapat laporan tertulis atau barang bukti yang sempurna, maka sistem kita sedang sakit. Aparat harus hadir dengan pendekatan proaktif, bukan reaktif.
Aparat Harus Tampil di Depan, Bukan Menunggu di Belakang
Rumah Harapan Rakyat Kaltim mendesak agar:
1. Dilakukan patroli rutin dan menyeluruh di titik-titik rawan premanisme di Sungai Mahakam.
2. Dibentuk tim respons cepat yang sigap turun menangani laporan langsung dari lapangan.
3. Dilakukan pemetaan pelaku dan jaringan premanisme, bukan hanya menangkap orang kecil secara sporadis.
4. Aparat memberi perlindungan terhadap pelaut dan operator kapal yang ingin melapor, termasuk jaminan keamanan.
5. Transparansi langkah penegakan hukum agar masyarakat mengetahui bahwa negara hadir dan bekerja.
Tanpa langkah konkret, premanisme akan terus tumbuh, menekan masyarakat kecil, dan merusak kredibilitas institusi hukum.
Sungai Mahakam bukan wilayah tak bertuan. Ini adalah jalur kehidupan, tempat masyarakat mencari nafkah dengan jujur. Negara, melalui aparatnya, wajib memastikan bahwa tidak ada satu pun warga yang bekerja dengan rasa takut.
Penegakan hukum tidak boleh berhenti pada alasan administratif. Ia harus hidup melalui tindakan nyata. Jika premanisme dibiarkan menguasai sungai, maka kita sedang membiarkan hukum kehilangan wibawanya.
Rumah Harapan Rakyat Kaltim berdiri bersama masyarakat dan akan terus mengawal isu ini hingga keamanan di Mahakam benar-benar pulih. Kami mendesak: Aparat penegak hukum, bertindaklah—sekarang, bukan nanti.
إرسال تعليق