Teks foto : Anggota DPRD Kaltim, Darlis Pattalongi (rk).
SAMARINDA – Bencana banjir yang kembali melumpuhkan sebagian wilayah Samarinda bukan hanya menyisakan genangan, tapi juga memunculkan desakan keras untuk merevisi kebijakan tata ruang dan pengelolaan lingkungan hidup di Kalimantan Timur.
Anggota DPRD Kaltim, M Darlis Pattalongi, menyebut kondisi ini sebagai sinyal jelas bahwa krisis ekologis di Samarinda tak bisa lagi ditangani dengan pendekatan reaktif. Ia menilai bahwa penyebab utama banjir bukan sekadar hujan deras, melainkan akumulasi dari buruknya manajemen lingkungan, lemahnya infrastruktur dasar, dan eksploitasi tambang yang tak terkendali.
“Selama ini kita terlalu fokus menyalahkan intensitas hujan, padahal akar masalahnya jauh lebih dalam. Ada persoalan tata kelola ruang yang sudah lama diabaikan,” tegas Darlis dalam keterangannya, Jumat (16/5/2025).
Salah satu kawasan terdampak parah, seperti Jalan HM Rifadin di Loa Janan Ilir, bahkan masih sulit dilalui akibat genangan air yang tak kunjung surut. Darlis menilai ini mencerminkan betapa sistem drainase kota tak mampu menampung debit air yang terus meningkat, terutama saat wilayah hulu yang gundul gagal meresap aliran.
Ia menyoroti masifnya aktivitas pertambangan di wilayah hulu Sungai Mahakam dan anak-anak sungainya sebagai faktor dominan yang memperparah banjir. Menurutnya, kontur tanah yang berubah, vegetasi yang hilang, serta sedimentasi di aliran sungai membuat air lebih cepat meluncur ke wilayah hilir seperti Samarinda.
“Kita sedang menghadapi ketimpangan antara pembangunan industri ekstraktif dengan daya dukung lingkungan yang kian melemah. Jika ini dibiarkan, maka setiap musim hujan akan menjadi mimpi buruk bagi warga kota,” ucapnya.
Selain menyoroti penyebab, Darlis juga mengkritik pola penanganan banjir oleh pemerintah daerah yang ia nilai belum menyentuh akar masalah. Sistem penanggulangan darurat memang hadir, namun belum diimbangi dengan strategi jangka panjang yang berkelanjutan dan terukur.
Ia mendorong Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur untuk segera merumuskan kebijakan baru yang mencakup: evaluasi total terhadap perizinan tambang di kawasan hulu, revitalisasi sistem drainase kota, pembangunan kolam retensi atau waduk pengendali banjir, hingga pemulihan kawasan resapan yang rusak akibat aktivitas industri.
“Jika kita terus menutup mata terhadap kerusakan lingkungan yang nyata, maka tidak ada jaminan keamanan bagi warga kota. Banjir bukan hanya urusan air, ini tentang keselamatan, keberlanjutan, dan keadilan ekologis,” tambahnya.
Sebagai anggota legislatif, Darlis memastikan bahwa DPRD, khususnya komisi yang membidangi lingkungan dan infrastruktur, akan memperjuangkan penguatan regulasi yang lebih berpihak pada perlindungan lingkungan. Ia juga menyerukan agar kebijakan lingkungan tidak hanya disusun di balik meja, tapi melibatkan akademisi, komunitas lokal, dan kelompok masyarakat terdampak.
“Sudah waktunya paradigma pembangunan kita berubah. Jangan lagi menjadikan pertumbuhan ekonomi sebagai pembenaran atas kerusakan yang ditanggung masyarakat,” tutupnya. (Adv/rk/le).
Posting Komentar