Teks foto : Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud (istimewa).
SAMARINDA – Ketua DPRD Kalimantan Timur, Hasanuddin Mas’ud, menegaskan bahwa persoalan perlindungan perempuan dan anak di wilayah-wilayah tertinggal tak cukup ditangani dengan pendekatan umum. Ia menekankan perlunya strategi berbasis lokalitas yang sensitif terhadap kondisi sosial-budaya di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T).
Menurutnya, tantangan yang dihadapi perempuan dan anak di wilayah 3T sangat kompleks, mulai dari minimnya layanan dasar hingga norma sosial yang kerap menghambat pelaporan kekerasan.
“Masalah ini tidak bisa ditangani dengan cara yang sama seperti di kota. Kita butuh pendekatan yang lebih kontekstual, lebih membumi,” ujar Hasanuddin, Senin (19/5/2025).
Politikus yang akrab disapa Hamas ini mengapresiasi langkah Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) yang telah menyiapkan alokasi anggaran khusus untuk kawasan 3T. Namun ia menekankan bahwa anggaran bukanlah jawaban satu-satunya.
“Yang lebih penting adalah bagaimana pelaksanaan di lapangan bisa menjangkau masyarakat secara nyata, bukan hanya berhenti di rapat dan laporan,” katanya.
Hamas juga mengungkapkan bahwa ada tujuh kabupaten di Kalimantan Timur yang menjadi prioritas penerima bantuan perlindungan perempuan dan anak. Meski belum merinci secara lengkap, ia menyebut daerah-daerah itu memiliki tantangan aksesibilitas tinggi serta keterbatasan infrastruktur pendukung.
“Kita ingin memastikan bahwa program ini benar-benar hadir di tengah masyarakat yang selama ini jauh dari jangkauan kebijakan pusat,” tambahnya.
Sebagai Ketua DPRD, ia menyatakan komitmennya untuk turut mengawal pelaksanaan program tersebut bersama instansi terkait dan pemerintah kabupaten agar perlindungan yang diberikan tidak bersifat formalitas, tetapi benar-benar terasa manfaatnya.
“Jangan biarkan perempuan dan anak di pelosok jadi korban dua kali—pertama karena kekerasan, kedua karena ketidakhadiran negara,” tegasnya. (Adv/rk/le).
Posting Komentar