Teks foto : Anggota DPRD Kaltim, Subandi (rk).
SAMARINDA – Jalan rusak bukan sekadar masalah teknis, tapi cerminan dari skema kebijakan yang belum berpihak pada kepentingan dasar masyarakat. Hal itu disampaikan oleh Anggota DPRD Kalimantan Timur, Subandi, saat menyoroti buruknya kondisi infrastruktur jalan di sejumlah wilayah, termasuk Samarinda dan Kutai Kartanegara.
Menurut Subandi, penyebab utama lambannya perbaikan jalan adalah terbatasnya alokasi anggaran yang tersedia. Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) Wilayah II, yang mencakup kawasan padat mobilitas seperti Samarinda, Kukar, Kubar hingga Mahakam Ulu, hanya mendapat anggaran sekitar Rp28 miliar. Lebih dari sepertiga anggaran itu habis untuk kebutuhan operasional, seperti bahan bakar.
“Dengan sisa anggaran yang minim, bagaimana bisa bicara soal pemeliharaan menyeluruh? Jalan-jalan strategis akhirnya terus rusak, sementara masyarakat yang harus menanggung akibatnya,” ujar Subandi saat ditemui usai rapat di Gedung DPRD Kaltim, Senin (19/5/2025).
Salah satu titik terparah adalah Jalan H.A.M Rifaddin, jalur utama yang menghubungkan Samarinda dan Kukar. Akibat kerusakan yang tak kunjung diperbaiki, aktivitas warga dan distribusi logistik terganggu parah. Sementara, upaya perbaikan hanya bergantung pada skema Multi Years Contract (MYC) yang rencananya baru akan berjalan penuh di 2025.
“Menunggu kontrak multiyears itu terlalu lama untuk jalan yang sudah hampir putus fungsinya. Harus ada terobosan pembiayaan untuk penanganan cepat di lapangan,” tegasnya.
Subandi menyoroti bahwa kelemahan skema anggaran saat ini tidak hanya pada jumlah, tetapi juga pada fleksibilitasnya. Padahal, daerah-daerah dengan tingkat lalu lintas tinggi dan risiko kerusakan berat seharusnya menjadi prioritas dalam perencanaan anggaran tahunan.
Ia juga mendorong evaluasi terhadap perizinan kendaraan besar yang kerap kali melewati jalur yang tidak dirancang untuk beban berat, mempercepat kerusakan jalan namun tak diimbangi dengan kontribusi nyata terhadap perawatan.
“Infrastruktur jalan bukan kemewahan, melainkan kebutuhan dasar. Kalau rusak dibiarkan, artinya negara gagal memberi rasa aman dan nyaman dalam aktivitas harian warganya,” tambah Subandi.
Ia menyatakan DPRD akan mendorong perubahan dalam kebijakan penganggaran, serta membuka ruang dialog dengan pemerintah provinsi dan kementerian terkait agar ada skema pendanaan alternatif, seperti dana insentif daerah berbasis infrastruktur prioritas.
“Pembangunan tidak boleh timpang hanya karena kemampuan fiskal terbatas. Yang dibutuhkan adalah kemauan politik untuk mengubah prioritas. Jalan yang layak adalah hak, bukan bonus,” tutupnya. (Adv/rk/le).
Posting Komentar