Minim Kewenangan, DPRD Kaltim Desak Revisi Regulasi Sengketa Lahan dan Tambang

Teks foto : Anggota Komisi I DPRD Kaltim, Didik Agung Eko Wahyono (istimewa).

SAMARINDA - DPRD Kalimantan Timur menyerukan pembaruan menyeluruh terhadap sistem pengelolaan perizinan dan penanganan konflik agraria di daerah. Hal ini disampaikan oleh Anggota Komisi I, Didik Agung Eko Wahono, menyusul terus berulangnya sengketa antara masyarakat dan perusahaan, terutama di sektor tambang dan perkebunan.

Didik menilai, selama ini pemerintah daerah terjebak dalam posisi “penonton yang disalahkan”, padahal seluruh izin dan kewenangan berada di tangan pemerintah pusat.

“Daerah hanya dijadikan tempat operasional. Ketika konflik muncul, masyarakat datang ke kami. Tapi faktanya, tangan kami terikat oleh regulasi,” ujar Didik saat ditemui di Gedung E DPRD Kaltim, Senin (26/5/2025).

Ia merujuk pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, yang memindahkan seluruh kewenangan perizinan sektor energi dan sumber daya mineral ke tingkat pusat. Akibatnya, DPRD dan pemda hanya bisa melakukan pengawasan dan membuat rekomendasi, tanpa kuasa menindak atau mencabut izin yang bermasalah.

“Sudah terlalu sering kami bahas di rapat dengar pendapat, tapi hasilnya tetap sama: posisi daerah lemah. Ini membuat penyelesaian konflik menjadi lambat, bahkan mandek,” tambah politisi dari Fraksi PDI Perjuangan itu.

Menurut Didik, sebagian besar aduan masyarakat yang masuk ke Komisi I berkaitan dengan tumpang tindih lahan, pengabaian hak adat, serta intimidasi dalam penggusuran. Sayangnya, tanpa dukungan kewenangan hukum, rekomendasi DPRD sering kali tidak digubris oleh perusahaan maupun kementerian terkait.

Ia pun mendesak agar pemerintah pusat segera merevisi sistem perizinan berbasis terpusat yang dinilai tidak adaptif terhadap dinamika daerah. Didik mengusulkan agar pemerintah daerah diberi mandat langsung untuk turut mengatur, mengevaluasi, dan bila perlu mencabut izin operasional perusahaan bermasalah di wilayahnya.

“Kami bukan sekadar ingin ikut campur. Tapi karena kami yang berada paling dekat dengan masyarakat, maka solusi juga akan lebih cepat jika daerah diberi ruang gerak,” tegasnya.

Didik juga mendorong DPR RI untuk membuka ruang dialog dengan DPRD seluruh Indonesia guna merancang tata kelola perizinan yang lebih desentralistik namun tetap terkoordinasi secara nasional.

“Keadilan agraria tidak bisa dicapai hanya dengan sistem dari atas ke bawah. Harus ada ruang partisipasi daerah agar hukum benar-benar berpihak pada rakyat,” pungkasnya. (Adv/rk/le).

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama