Operasi Besar BNN Kaltim, 94 Orang Digelandang

TAK SEDIKIT: 94 Orang terjaring dalam penggerebekkan oleh BNN Provinsi Kaltim (Ndu).


Oleh:

ADITYA LESMANA/PREDIKSI.CO.ID


Media ini tidak tahu persis, berapa harga satu linting sabu di Jalan AM. Sangaji malam itu. Tapi mungkin banyak yang tahu, "pasar" itu tidak pernah tutup. Bahkan, mungkin lebih sibuk dari warung kopi 24 jam. Malangnya lagi, ini bukan  jual beli biasa, ini jual beli barang haram: Narkoba. Dan Kamis malam lalu (31 Juli), pasar itu ditutup. Bukan oleh pemiliknya. Tapi oleh BNNP Kalimantan Timur.


Jam 9 malam lewat sedikit. Samarinda belum sepenuhnya tidur. Tapi lampu-lampu di Jalan AM. Sangaji mendadak lebih terang—bukan karena listrik, tapi karena sirine dan teriakan: Polisi! Dalam tempo dua jam, 94 orang diamankan. Tujuh di antaranya perempuan. Dan yang paling menarik—beberapa pelaku sempat melompat ke sungai. Mungkin berharap narkoba hanyut bersama mereka.


Kepala Seksi Intelijen BNN Kaltim, AKP Dwi Wibowo Laksono, berbicara sambil menatap jauh. Barangkali membayangkan betapa susahnya mengendus pasar gelap yang justru terlalu terang itu. “Sudah sekitar satu bulan warga resah,” katanya.


Kita bisa membayangkan warga yang ingin tidur, tapi suara motor dan langkah kaki datang silih berganti. Tidak biasa. Karena di situ, transaksi sabu bisa 24 jam. Tidak seperti pasar tradisional yang tutup menjelang siang.


Tapi seperti biasa, pengedar yang licin selalu punya jalan. Beberapa berhasil kabur. Tapi pembeli tetap berdatangan. Bahkan saat penggerebekan sudah berlangsung. Seolah tak sadar, atau mungkin sudah terlalu candu.


“Kami tes urine. Banyak yang positif,” kata AKP Dwi.


Tapi cerita paling menyentuh justru bukan pada jumlah yang ditangkap, atau yang kabur. Melainkan bagaimana BNN melihat mereka bukan sebagai pelaku. Tapi sebagai korban.


“Kami tidak menghukum mereka. Kami asesmen medis, lalu kami rehabilitasi,” ujarnya.


Penulis agak terkejut. Karena ini bukan kalimat yang biasa kita dengar dari aparat. Biasanya, pengguna tetap dihukum. Tapi kali ini tidak. Kali ini mereka justru diselamatkan. Dibawa ke klinik Tanah Merah, bukan "dibuang" ke sel penuh jeruji besi itu.


Logikanya sederhana: pasar ada karena ada pembeli. Tapi kalau pembelinya disadarkan dan disembuhkan, maka pasar pun bubar. Karena tidak ada lagi yang mencari.


“Kalau pasarnya hilang, maka tidak ada lagi yang berjualan,” tutup AKP Dwi.


Malam itu, Jalan M. Sangaji seperti kehilangan denyutnya. Tapi mungkin justru itulah harapan. Sebab, diam bisa jadi tanda pemulihan. 

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama